Berkat keseniannya yang sangat istimewa dan alam pegunungan yang dikelilingi persawahan yang indah, Ubud di Bali dikenal sebagai daerah kunjungan wisata yang sangat digemari dan bernilai ekonomis sangat tinggi.
Di sepanjang jalan di Ubud, Anda akan bertemu dengan para selebriti dunia, guru-guru besar dari universitas terkenal, serta usahawan mancanegara. Mereka mengayuh sepeda mengunjungi museum yang satu dan museum-museum lainnya. Memborong lukisan dan karya-karya seni. Sebagian orang yang tidak mengerti menduga Ubud adalah warisan alam yang terjadi begitu saja. Mungkin ini agak keliru.
Sejarah Ubud Sebagai Daerah Seni
Di sebuah desa di Ubud, Bali, terdapat dua buah sungai yang bermuara di satu titik. Yang satu bernama sungai Wadon (yang artinya Perempuan) dan satunya lagi, sungai Lanang (artinya Lelaki). Satu sungai hanya dipisahkan oleh satu bukit yang di titik pertemuannya diberi nama Tjampuhan.
Titik itu dipercaya sebagai tempat orang suci nenek moyang orang-orang Bali, Maharesi Markandia yang sakti, berhasil menaklukkan dedemit yang sangat menguasai Bali. Maka di titik itu dibangun sebuah pura yang sangat suci: Pura Gunung Lebah.
Konon, di desa-desa sepanjang sungai itu mengalirlah darah-darah seni orang Bali. Desa Penestanan, Pengosekan, dan Sukawati yang terkenal sebagai desa lukis, Celuk (desa perak), Batu Bulan (desa stone carving], dan sebagainya. Singkatnya, Ubud dikenal sebagai daerah yang kaya dengan seni.
Ubud tidak akan pernah menjadi daerah kunjungan wisata kalau tak ada seseorang yang dengan sungguh-sungguh melakukan perubahan. Pembuat perubahan itu bernama Tjokorda Gde Agung Sukawati, Raja Ubud.
Semasa hidupnya, Tjokorda sangat memerhatikan kesenian. la berpikir, rakyatnya tidak bisa hidup seperti ini terus-menerus. Maka ia pun mulai mencari jalan agar warganya bisa membuat karya-karya seni secara lebih indah dan lebih bernilai. Maka setiap kali ia mendengar ada pelukis hebat datang ke Indonesia, ia ajak ke Ubud.
Ia memburu nama-nama terkenal. Walter Spies dijemputnya di pelabuhan. Bahkan diberikan rumah di Bali. Syaratnya cuma satu: “Tolong ajarkan anak-anak Ubud melukis”.
Sejak saat itu, yang datang bukan cuma Walter Spies. Sebut saja Rudolf Bonnet, Arie Schmidt, dan Han: Snell. Mereka adalah pelukis-pelukis besar yang memberikan pengaruh terhadap cara melukis di sini. Bahkan juga Antonio Blanco yang jatuh cinta dengan gadis Bali dan menetap di sana sampai mati.
Konon, sebelum kedatangan mereka, lukisan seniman Ubud terbatas hanya pada tema-tema yang lazim ditemui pada epos Mahabarata dan Ramayana. Sekarang Anda bisa melihat karya-karya yang sangat ekspresif dengan multi tema.
Menurut putra almarhum, Tjokorda Gde Raka Sukawati, ayahnya sendiri pergi menyambut para seniman besar itu dan menawarkan ternpat untuk tinggal di Ubud. Bahkan pelukis besar Affandi termasuk yang pernah diburunya.
Gagasan sederhana itu sekarang sangat dinikmati orang-orang Bali. Turis tidak lagi takut mendatangi daerah yang dulu agak tertutup dan berhutan lebat ini. Di Tjampuhan, bekas rumah Walter Spies, sampai sekarang masih bisa dilihat jejak kedatangan Waiter Spies. Rumah itu ada di tengah-tengah kawasan hotel Tjampuhan.
Di Desa Kedewatan, Tjokorda membangun sebuah patung yang sangat besar berupa dewa-dewi. Daerah ini memang dikenal sebagai desa yang kerap didatangi bidadari sehingga diberi nama Kedewatan. Di situ ada sebuah resort butik yang sangat indah, yang dibangun oleh ratusan seniman dengan tangan-tangan yang sangat terampil.
Tak jauh dari situ, Tjokorda Gde Raka Sukawati membangun sebuah resort butik yang iuga sangat digemari turis asing: Pitamaha. Pelanggan tetapnya antara lain adalah David Copperfield dan Cindy Crawford.
Sejarah Asal Mula Ubud Bali Sebagai Daerah Seni