Bioetanol bisa menjadi salah satu alternatif bahan bakar ramah lingkungan di masa depan. Butuh keseriusan pemerintah mendukung pengembangan bioetanol ini.
Bioetanol dari tumbuhan yang memiliki kandungan karbohidrat
Hal ini disebabkan sektor yang menyerap penggunaan minyak bumi paling besar di Indonesia adalah sektor transportasi. Parahnya lagi sektor transportasi memiliki tingkat pertumbuhan yang sangat tinggi; lebih dari 10% pertahunnya. Diantara semua jenis bahan bakar yang digunakan pada sektor transportasi, bensin adalah bahan bakar yang paling banyak digunakan.
Jika melihat fakta tersebut, maka sektor transportasi memiliki tingkat prioritas yang cukup tinggi untuk dibidik program diversifikasi energi pemerintah.
Salah satu opsi energi alternatif dan terbarukan yang mampu menggantikan bensin saat ini adalah etanol berbasis biomassa, yang biasa disebut Bioetanol. Etanol dapat dicampur (blending) langsung dengan bahan bakar bensin hingga kadar 10% tanpa memerlukan adanya modifikasi mesin mobil bahan bakar bensin yang ada saat ini.
Jenis pencampuran Bioetanol dikategorikan dalam E5 (5% Bioetanol) atau E10. Bahkan beberapa perusahaan manufaktur mampu memproduksi mobil yang berbasiskan bahan bakar etanol murni (E100) yang disebut dengan Flexible Fuel Vechile (FFV).
Produksi Bioetanol dari Tumbuhan atau Biomassa
Bioetanol dapat diproduksi dari tumbuhan atau biomassa yang memiliki kandungan karbohidrat didalamnya, baik dalam bentuk paling sederhana glukosa (C6 H12O6 ) ataupun dalam bentuk rantai panjang seperti pati / starch. Indonesia sebagai negara tropis memiliki potensi lahan yang sangat sesuai dengan berbagai jenis tumbuhan penghasil Bioetanol seperti tebu, singkong, ubi jalar, jagung, sorgum manis, nipah, dan lain-lain. Konversi glukosa menjadi Bioetanol biasa disebut proses fermentasi.
Perkembangan teknologi proses Bioetanol saat ini memunculkan opsi pembuatan Bioetanol dari bahan gula lain yaitu selulosa. Selulosa adalah komponen penyusun dinding sel tumbuhan yang dibungkus bersama dengan lignin.
Komponen lignin inilah yang membuat proses pembuatan Bioetanol dari bahan selulosa menjadi sulit. Lignin menghalangi enzim yang akan menyerang selulosa agar dapat menjadi Bioetanol. Karenanya, komponen Lignin harus “dihancurkan” terlebih dahulu.
Saat ini, proses penghancuran lignin telah banyak terbukti dapat dilakukan secara ekonomis, sehingga pembuatan Bioethanol generasi 2 dari bahan selulosa menjadi mungkin dilakukan. Sama halnya dengan bahan baku bioethanol generasi 1, Indonesia juga memiliki potensi bahan selulosa yang besar
Brazil adalah contoh sukses pemanfaatan Bioetanol dengan dampak yang signifikan bagi kemandirian energi di negeri samba itu. Pengembangan Bioetanol Brazil sudah dimulai semenjak tahun 1975 dan memiliki dukungan pemerintah yang sangat kuat, diantaranya melalui :
Pemberian subsidi dan insentif perpajakan, baik dalam pembangunan pabrik Bioetanol maupun subsidi bagi petani tebu,
- Pinjaman biaya investasi yang ringan,
- Harga Tebu dan Bioetanol yang dikontrol,
- Dukungan kepastian pasar (berupa mandat, pendekatan ke perusahaan manufaktur mobil, dan keringanan pajak kendaraan FFV ).
Dukungan pemerintah Brazil lambat laun mampu memicu minat investor yang didominasi oleh pihak swasta, sementara pihak pemerintah lebih banyak mengatur sistem distribusi dan infrastruktur saja.
Tingkat keberhasilan Brazil dapat diukur dengan penurunan drastis kuota impor crude dan petroleum (yang sebelumnya mencapai 90% dari total konsumsi minyak) dan tingkat konsumsi Bioethanol yang mampu mengisi kebutuhan energi Brazil hingga 30% dengan produksi lebih dari 26 juta kL pada tahun 2013.
Sementara bagaimana dengan arah kebijakan Indonesia terkait penggunaan Bioetanol?
Indonesia telah mengeluarkan Perpres no 5/2006 tentang kebijaksanaan Diversifikasi Energi Nasional, dimana komposisi energi yang berasal dari NRE (New and Renewable Energy) meningkat secara signifikan dari 4,8% (2010) menjadi 17% (2025).
Biofuel (termasuk bioetanol) memegang peranan sebesar 5% dari total 17% sumber energi terbarukan. Mandat dari pemerintah adalah E5, dengan target produksi bioetanol sebesar 5,8 juta kL pada tahun 2025.
Bagaimana status realisasi Bioetanol sebagai bahan bakar di Indonesia saat ini?
Sejak tahun 2009, pencampuran Bioetanol dalam bensin tidak lagi dilakukan. Hal ini dikarenakan tidak ada pemasok bioetanol yang mau menjual produk nya ke Pertamina, dikarenakan harga beli yang ditetapkan Pemerintah kurang kompetitif. Bisnis Bioetanol di Indonesia terhambat oleh harga bahan baku yang tinggi serta ketersediannya yang diperebutkan dengan sektor pangan.
Tingginya harga bahan baku membuat biaya produksi Bioetanol telah melebihi harga beli Bioetanol yang ditetapkan pemerintah. Akibatnya, bisnis Bioetanol menjadi kurang menarik bagi investor. Sementara itu, dukungan dari pemerintah guna meningkatkan minat investasi di bisnis Bioetanol sangat minim.
Untuk mencapai target mandat penggunaan Bioetanol sebesar 5,8 juta kL di tahun 2025, dibutuhkan usaha yang sangat besar. Upaya integrasi industri pertanian-perkebunan, industri pengolahan, dan pihak investor yang terkoordinasi dengan baik harus dilakukan sedini mungkin.
Paradigma energi terbarukan yang mahal dan beresiko tinggi perlu untuk dikaji ulang, melihat semakin mahalnya industri energi konvensional dan juga tren energi global yang membuktikan bahwa energi terbarukan mampu bersaing secara komersial saat ini.